Minggu, 18 Desember 2011

agama dan realitas sosial


AGAMA DAN REALITAS SOCIAL
DI TENGAH OTONOMI DAERAH
Oleh : Muh. Yunus Anwar Rj.
Lembaga Pendidikan & Advokasi Rakyat (LEMPAR)
Dalam konteks ke-Indonesia-an, Bumi Pertiwi ini sangatlah pluralistic dan hal ini dapat di tilik dari semboyan Negeri ini yakni Bhineka Tunggal Ika yang jikalau dialihkan kedalam bahasa Indonesia yakni “betapa indah dan mempesonanya persatuan justru karena adanya perbedaan dan kemajemukan”. Dalam berbagai realitas kehidupan rakyat Indonesia, terdapat perbedaan dari berbagai segi (perbedaan Budaya, bahasa, etnis, Agama ect), berbagai perbedaan inilah yang harus dirawat dan dilindungi sebagai kekuatan fundamental dalam menjaga keutuhan bumi pertiwi demi mewujudkan masa depan Nation State of Indonesia yang cerah sehingga perbedaan tidak dijadikan sebagai alat yang dapat melegitimasi rakyat Indonesia untuk melakukan dekonstruksi pada tatanan yang ada dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tercinta ini.
Setelah Merefleksi secara kritis kondisi kebangsaan maupun kedaerahan, masih sangat banyak problem yang terjadi bahkan kian menggurita sampai dipelosok negeri ini, perbedaan yang diharapkan  untuk dirawat dan dilindungi sebagai kekuatan fundamental bangsa ini, justru telah menyebabkan terjadinya gejolak social ataupun gelombang yang begitu dahsyat dalam bentuk konflik social terutama dalam kaitannya dengan Agama sehingga meniscayakan semua elemen untuk merumuskan problem solving dalam penyelesaiannya.
Fakta social menjelaskan bahwa agama telah menjadi sumber malapetaka bagi rakyat Indonesia, kejadian di Ambon, Poso, lombok atau beberapa daerah lainnya telah memberikan contoh kongkrit konflik social dikarenakan oleh sentiment keagamaan, diskursus yang kaitan dengan Terorisme, Ahmadiyah, ataupun banyak lagi kelompok, golongan atau aliran keagamaan yang tumbuh dan berkembang diberbagai daerah di Indonesia berkonflik, lagi-lagi terjadi karena sentiment dan fanatisme terhadap agama.
Dalam frame politik pun terjadi gejolak yang sangat dahsyat oleh karena sebagian pemimpin Bangsa dan elit-elit partai politik dengan berjubahkan keagamaan atau simbolisasi agama hanya untuk melegitimasi segala bentuk tindakannya. Agama telah menjadi komoditas politik pada momentum pemilu, pilpres, pilkada, ataupun pilkades, agama hanya dijadikan sebagai Tiket atau kartu politik untuk mendapatkan kekuasaan atau agar bisa duduk di singgasana kekuasaan. Wajah agama menjadi sangat suram jika lau di tilik dari frame politik, baik pada tingkat Nasional maupun pada tingkat lokal.  
Pun dalam konteks Regional, Agama masih dalam problem yang sama ataupun mirip dengan beberapa item yang di ungkap diatas, agama masih belum mampu membuka tabir yang kaitan dengan realitas social ditengah otonomi Daerah, agama masih didominasi oleh ritualitas belaka tanpa ada penyeimbangan dengan ibadah social. Problematika social yang terjadi dibima pada umumnya dan wera pada khususnya sangat erat kaitannya agama, akan tetapi agama tidak membawa angin segar bagi masyarakat, yang kemudian mengeluarkan masyarakat dari berbagai macam problem yang menimpanya. Oleh karena Agama belum mampu menjadi obat penawar bagi penyakit social kemasyarakatan yang kian menggurita diTanah Mbojo maka perlu kiranya dibuka Ruang dialogis Untuk mendialogkan tentang keagamaan sehingga terdapat relevansi antara mekanisme atau aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah (PEMDA) dengan efek socialnya, relevasinya antara khutbah atau ceramah keagamaan oleh ulama ataupun Da’I dengan kondisi social yang terjadi dalam ruang lingkup daerah Mbojo.
Perlu pula untuk di telaah yang kaitan dengan sejauh mana peran departemen agama selaku institusi keagamaan dalam menyikapi dan menyelesaikan problem social yang terjadi dibima, Departemen Agama tidak hanya menjadi lembaga yang ngurus administrasi atau hanya mengurus yang kaitan dengan Haji, sehingga wajar manakala ada ungkapan seharusnya departemen agama menjadi panitia haji aja. Maka dari sini perlu bagi institusi keagamaan untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan memberikan porsi yang lebih pada pesoalan social kemanusiaan. Ibadah ritual dan ibadah social haruslah dimplementasikan pada tingkatan praksis sehingga memimiliki sinegitas antara hubungan yang dijalin dengan Tuhan dan Hubungan yang dijalin dengan sesama manusia, sehingga agama tidak hanya berkaitan dengan teologis akan tetapi harus berkaitan juga dengan persoalan kemanusiaan bagi masyarakat Bima demi menata, memperbaiki serta menyongsong masa depan bima yang lebih baik kedepannya.
Masyarakat bima yang dalam kaitan dengan keagamaan adalah mayoritas muslim yang meniscayakan subuah formulasi baru serta spirit baru dalam mendakwahkan Islam, sehingga sikap fanatisme dan sentiment yang selama ini ada dalam masyarakat bisa minimalisasikan menuju pada teraktualnyaa tujuan subtantif keberagamaan. Harus pula disadari bahwa agama hadir bukan semata-mata  menuntut manusia untuk “Ngurusi Tuhan”  akan tetapi kehadiran agama adalah untuk kemanusiaan (baca Teologi Kiri; Munir Mulkhan). Seperangkat spirit perjuangan dalam medakwahkan agama Tuhan adalah untuk kemanusiaan. Manakala lautan manusia dimuka bumi, ditanah nusantara, ditanah Bima atau di Wera melakukan penindasan, menyebabkan merajalela atau mengguritanya kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan, hal itu merupakan bagian dari dehumanisasi yang tidak mencerminkan sikap keberagamaan.
Adalah penting bagi semua elemen untuk menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan, sehingga tidak terjebak pada ritus-ritus keagamaan. Ritus-ritus keagamaan harus  ubah menjadi aksi kemanusiaan. Kasih sayang Tuhan yang meliputi langit dan bumi, seharusnya tidak disempitkan hanya untuk kelompok tertentu, mazhab tertentu, atau aliran tertentu pula, namun Rahmat Tuhan harus dinisbahkan bagi seluruh mahluk, peduli dari manapun dia, kaya atau miskin, peduli apapun agamanya atau dari kelompok manapun dia, sehingga tatanan masyarakat yang penuh dengan keharmonisan dapat teraktual dalam wilayah praksis.
Olehnya itu, upaya merumuskan formulasi baru mejadi sebuah keniscayaan untuk dilakukan oleh semua elemen. Depepartemen agama selaku institusi keagamaan harus lebih peka terhadap realitas masyarakat sehingga ada upaya untuk memaksimalisasi kinerjanya serta berkoordinasi dengan elemen-elemen lainnya. Pun demikian dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau organisasi keagamaan lainnya harus pula mampu melihat realitas kemanusiaan sehingga tidak terjadi parsisalisasi gerakan keagamaan (pemihakan pada kelompok tertentu) seperti yang terjadi sebelumnya. Para ulama, Da’i, remaja Mesjid atau elemen lainnya pun harus lebih pro aktif dalam melakukan pencerahan serta kampanye pemihakan terhadap perrsoalan kemanusiaan.
Maka seruan yang tepat adalah mengajak seluruh elemen untuk memihak pada persoalan kemanusian. Mari kita melihat kemiskinan, kebodohan, penindasan, ketidakadilan, korupsi (Maling Uang Rakyat), illegal logging (Maling Kayu), illegal fishing (Maling Ikan), dan yang sama dengan hal demikian sebagai persoalan kemanusiaan yang merupakan musibah social kemanusiaan yang harus disingkirkan dari realitas masyarakat. Begitupun dengan elit local, jangan jadikan agama sebagai jubah hanya untuk meraih kekuaasaan serta melegitimasi segala tindakan yang melenceng dari nilai-nilai kemanusiaan akan tetapi pemihakan pemerintah daerah ditengah otonomi daerah pun haruslah keberpihakannya pada kemanusiaan. Jika tidak demikian maka setiap upaya yang dilakukan, senantiasa akan menjauhkan pada tujuan subtantif keberagamaan, pun tujuan daripada diberlakukannya otonomi daerah sangatlah kontra produktif dengan nilai-nilai Agama yang  dititipkan Tuhan kepada mahluk-Nya untuk tujuan kemanusiaan manakala menebarkan dehumanisasi (Baca; Islam dan Humanisme) di alam semesta ini..  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar